Merangkai Capaian Konservasi di Wallacea

Merangkai Capaian Konservasi di Wallacea

Makassar, 01-04 Oktober 2019

Program kemitraan Wallacea dimulai sejak 2015, berbagai inisiatif dan model pengelolaan sumber daya alam berhasil diperkuat dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Program ini mampu mengarusutamakan pengelolaan keanekaragaman hayati ke dalam kebijakan diberbagai tingkat maupun kehidupan masyarakat sehari-hari. Program ini telah berjalan selaras dengan tujuan strategisnya yaitu untuk memperkuat upaya konservasi jenis terancam punah, perlindungan tapak, pengelolaan sumber daya alam darat dan laut berbasis masyarakat, hingga pelibatan sektor swasta dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Program kemitraan Wallacea mampu berkontribusi menurunkan ancaman bagi 19 dari 22 jenis prioritas darat di wallacea, diantaranya adalah kakatua Maluku, Nuri Talaud, dan Kura-kura hutan Sulawesi Selatan. Dan menurunkan ancaman bagi tidak kurang 207 jenis prioritas laut di Wallacea, diantaranya adalah dugong, penyu dan beragam jenis karang.

Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 01-04 Oktober 2019 di Hotel Four Point, Makassar. Kegiatan ini diselenggarakan olek Burung Indonesia sebagai RIT dan Penabulu sebagai mitra untuk peningkatan kapasitas kelembagaan. Kegiatan ini dihadiri oleh 47mitra local, 5 mitra Nasional, 6 lembaga Pemerintah Pusat, 47 lembaga Pemerintah daerah, 11 lembaga dari LSM/akademis/Swasta/media.

Kegiatan untuk hari pertama sampai dengan hari ketiga adalah pemaparan hasil capaian program dari perwakilan mitra CEPF. Strategi program yang dilakukan oleh mitra CEPF untuk menciptakan model aksi konservasi local yang efektif, telah berhasil menemukan jalan tengah bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan sehari-hari sekaligus tuntutan keberlanjutan ekosistem. Praktik-praktik konservasi terbaik yang dilakukan oleh mitra program diantara adalah:

  1. Penerapan kembali aturan adat, Muro Lewa yang berarti larangan laut, di Desa Lamatokan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur dimana Teluk Hadakewa berada. Dan saat ini ikan-ikan sudah kembali sehingga masyarakat tidak perlu lagi jauh-jauh mencari ikan ke tengah laut, dan penghasilan masyarakatpun meningkat.
  2. Sasi Lompa adalah salah satu kearifan local di Haruku yang dijalankan oleh Kewang. Masyarakat dilarang untuk mengambil ikan lompa(Trisina Baelama), sejenis ikan sarden hingga ditetapkannya hari melakukan ritual Buka Sasi. Saat ini masyarakat tidak pernah merasakan kehabisan lauk pauk. Selain itu penerapan Sasi juga telah berhasil mengembalikan fungsi tempat bertelurnya Gosong Maluku, dan masyarakat sudah tidak mengkonsumsi telu Gosong Maluku.
  3. Pelestarian hutan melalui penanaman kopi di deretan bukit dan gunung Lompobatang, desa Pattaneteang, Bantaeng, Sulawesi Selatan. Kawasan ini dahulunya gundul, tidak ada pepohonan besar karena kawasan hutan dan areal perkebunan masyarakat dulunya ditanami jagung sehingga lahan menjadi terbuka dan lawan longsor. Setelah masyarakat kembali menanam kopi dan tanaman kopi terus berkembang pesat, hal ini menjadi penyebab mengapa masyarakat melindungi hutan yang ada disekitar lahan mereka dengan menanam suren, sengon, sadak, dan kayu lutu. Saat ini kebun-kebun kopi masyarakat menjadi habitat satwa endemic seperti tarsius dan burung poce atau sikatan lompubatang.

 

Dan masih banyak lagi yang telah dilakukan oleh mitra CEPF untuk pelestarian keanekaragaman hayati di Wallacea. Strategi yang dilakukan juga berbeda, sesuai dengan karakter wilayah dari masing-masing organisasi mitra dimana mereka bekerja.

 

Kegiatan ini ditutup dengan field visit yang diikuti oleh perwakilan 47 mitra CEPF, staf Burung Indonesia, perwakilan CEPF – Daniel Rothberg. Field visit dilakukan ke Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung-Maros, Makassar, Sulawesi Selatan.