Train Of Trainers Teknis Pertanian Membahas Permodalan Usaha Tani Oleh Universitas Padjajaran

SENIN – 23 AGUSTUS 2021, Train of Trainers Teknis Pertanian oleh Universitas Padjajaran sebagai narasumber yang diselenggarakan oleh Proyek ECHO Green bersama Tani Foundation untuk tim SDC (Sub District Coordinator) & Tenaga Ahli Pertanian

Train of Trainers yang diselenggarakan oleh ECHO Green bekerjasama dengan Tani Foundation dan Universitas Padjajaran, Bandung. Kegiatan kali ini terdiri dari 2 sesi pembahasan. Sesi pertama disampaikan oleh Eliana Wulandari ,SP., MM, Dosen Universitas Padjajaran dan Zumi Saidah, SP.,M.Si., Dosen Universitas Padjajaran mengenai perencanaan keuangan dan potensi pasar. Serta sesi kedua mengenai media tanam yang disampaikan oleh Apong Sandrawati, S.P., M.Si. & Nadia Nuraniya Kamaludin, S.P., M.Agr., Ph.D.

Pada sektor pertanian, modal merupakan hal yang krusial dan penting dalam hal usaha tani karena modal sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk. Namun, kenyataan dilapangan tidak semua petani memiliki modal yang cukup dan juga kemampuan menjangkau sumber – sumber permodalan masihlah sangat terbatas. Terutama pada petani yang memiliki lahan sempit dan kuantitas produksinya masih rendah.

Oleh karena itu, Penting sekali Untuk menjembatani GAP antara pertanian dengan lembaga keuangan khususnya mengenai perkreditan. Kredit Usaha Rakyat atau KUR adalah pinjaman modal kerja yang diberikan kepada individu/badan usaha/kelompok yang dinilai memiliki usaha produktif dan layak. Namun lebih khususnya lagi, kredit ini diberikan kepada mereka yang berhak karena dianggap tidak memiliki agunan atau jaminan tambahan untuk mengajukan pinjaman secara konvensional. Pada dasarnya, kredit bantuan pemerintah ini berbeda dengan pinjaman usaha lainnya sebagaimana suku bunga KUR nya yang sangat rendah. Ketika akan mengajukan KUR, setiap pemilik usaha wajib memenuhi seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku.

Selanjutnya, lebih detail lagi pada pembahasan media tanam, narasumber menyampaikan dasar  ilmu tanah seperti: jenis – jenis tanah, cara perlakuan pada tanah dan juga mengenai kesuburan tanah yang berperan penting pada keberhasilan produksi dan perlu diperhatikan.

Sumber: http://echogreen.id/train-of-trainers-teknis-pertanian-membahas-permodalan-usaha-tani-oleh-universitas-padjajaran/

Eco- Enzyme Karya Kelompok Perempuan Tani Desan Lajer

GROBOGAN – Kamis, 2 September 2021, Kelompok perempuan tani dampingan program ECHO Green di desa Lajer, Grobogan mengolah sisa sampah organik (sisa buah) jadi Eco-Enzyme

Sistem pengelolaan sampah organik yang belum maksimal telah menimbulkan masalah dan menyumbang sebesar 60% sampah di Indonesia. Hal ini yang melatarbelakangi kelompok perempuan tani di desa Lajer, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah mulai mengolah sisa sampah organik yang berasal dari sayuran dan buah – buahan untuk dijadikan “Eco-Enzyme”

Eco-Enzyme merupakan salah satu pengembangan produk berbasis limbah organik melalui pendekatan sirkular ekonomi. Eco-Enzyme ini dihasilkan dari fermentasi limbah organik seperti ampas buah dan sayuran, gula (gula coklat, gula merah atau gula tebu), dan air.

Enzim mengubah amonia menjadi nitrat (NO3), sebagai hormon alami dan nutrisi untuk tanaman. Enzim pula mengubah karbon dioksida (CO2) menjadi karbonat (CO3) yang bermanfaat bagi tanaman laut dan kehidupan laut. Sehingga Eco Enzyme bisa menjadi cairan multiguna dan salah satu cara manajemen sampah yang memanfaatkan sisa-sisa dapur untuk sesuatu yang sangat bermanfaat.

Ari Kusuma, Sub District Coordinator (SDC) program ECHO Green untuk wilayah Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan mengatakan bahwa Eco Enzyme memiliki banyak manfaat di bidang kesehatan, pertanian, peternakan dan perbaikan kualitas lingkungan. Khususnya pada situasi pandemi covid-19, Eco-Enzyme ini dapat dimanfaatkan sebagai desinfektan karena dapat menyerap polutan-polutan di udara. Sehingga udara menjadi lebih segar. Sekaligus bisa mengurangi emisi gas kaca yang disebabkan karbon dioksida.

Eco-Enzyme juga dapat digunakan merangsang hormon tanaman untuk meningkatkan kualitas buah dan sayuran, penolak serangga alami serta meningkatkan hasil panen.

Sri Wahyumi, salah satu kelompok perempuan tani “Sinta Green” menambahkan, tidak hanya bermanfaat sebagai desinfektan alami, eco-enzyme yang melalui proses fermentasi ini akan diambil biangnya (Mama Jelly) yang bisa digunakan sebagai masker wajah dan terapi luka bakar. Jika setiap rumah tangga mampu mengolah sampah mereka untuk menghasilkan enzim ramah lingkungan, Hal itu dapat menghentikan limbah dapur dari polusi tanah dan mengurangi pemanasan global. Sehingga setiap dari kita memiliki peran menyelamatkan perubahan iklim dimulai dari limbah yang kita konsumsi sendiri. “cerdas mengkonsumsi pangan, cerdas pula mengolah limbah sisa pangan!”.

Mama Jelly sendiri adalah “biang” penghasil enzim yang diperoleh pada saat memanen eco-enzyme. bentuknya seperti jelly nata de coco, memiliki kandungan zat anti inflamasi dan anti gatal, sering digunakan untuk masker wajah atau terapi pengobatan luka luar. Untuk menghasilkan mama jelly ini, dibutuhkan waktu minimal 3 bulan untuk proses fermentasi

Sumber: http://echogreen.id/eco-enzyme-karya-kelompok-perempuan-tani-desa-lajer/

Hari Tani Nasinonal Sebagai Momentum bagi Generasi Muda di Lombok Timur Merenrapkan Model Pertanian Inovatif yang Ramah Lingkunga dan Menjanjikan

Sumber: http://echogreen.id/hari-tani-nasional-sebagai-momentum-bagi-generasi-muda-di-lombok-timur-menerapkan-model-pertanian-inovatif-yang-ramah-lingkungan-dan-menjanjikan/

Integrasi Inisiatif ekonomi Hijau Dalam Rencana Kerja Pemerintah Nagari di Kabupaten Padanag Pariaman

PADANG PARIAMAN – ECHO Green mengadakan serangkaian kegiatan “Integrasi Inisiatif Ekonomi Hijau dalam Rencana Kerja Pemerintah Nagari” yang bertempat di Hotel Axana Padang, Sumatera Barat. (17/11/2022)

Peserta yang terlibat dalam kegiatan yang dilaksanakan pada 16 dan 17 november 2022 ini dihadiri oleh perwakilan 25 Nagari dampingan ECHO Green dan 1 Nagari di luar Echo Green.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung replikasi inisiatif ekonomi hijau di sektor pertanian masuk ke dalam RPJMD di tingkat desa. Dimana peran perempuan dan generasi muda tani sebagai aktor utama pembangunan desa/nagari yang inklusif dan berkelanjutan.

Program Manager Echo Green Padang Pariaman, Ramadhaniati menyampaikan dalam kegiatan Integrasi Inisiatif Ekonomi Hijau dalam Rencana Kerja Pemerintah Nagari di Kabupaten Padang Pariaman ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas bagi pemerintah nagari dalam perencanaan nagari yang inklusif.

Selain itu, Ramadhaniati mengungkapkan kegiatan ini juga bertujuan untuk mainstreaming inisiatif-inisiatif lokal untuk ekonomi hijau yang sudah dilakukan dalam program ECHO Green di tingkat nagari agar mendapatkan dukungan dari pemerintah nagari melalui perencanaan nagari.

Ali Waldana selaku Wali Nagari Kampuang Galapuang, Kecamatan Ulakan Tapakis mengucapkan terima kasih terhadap program ECHO Green khususnya selama pembuatan PERNA (Peraturan Nagari).

“ECHO Green memberikan pengetahuan bagaimana membuat kebijakan sesuai dengan teknis dan regulasi. Proses RKP dibutuhkan oleh Nagari, karena selama ini Nagari kurang mengetahui aspek teknis dan regulasi saat Menyusun RKP”, Ucapnya.

Pada hari kedua, Agung Wijaya Fasilitator dari Echo Green mengajak peserta dari perwakilan 25 Nagari dampingan ECHO Green dan 1 nagari di luar ECHO Green untuk praktek proses penginputan perencanaan nagari ke dalam aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskuedes). Aplikasi Siskeudes ditujukan kepada aparat pemerintah desa untuk memudahkan pengelolaan keuangan desa mulai dari tahap perencanaan hingga tahap pelaporan/pertanggungjawaban.

Sampai saat ini ECHO Green di Kabupaten Padang Pariaman sudah melakukan berbagai kegiatan dan salah satunya adalah promosi model ekonomi hijau (pertanian ramah lingkungan yang inklusif). Praktek baik yang sudah dilakukan selama ini diharapkan dapat menjadi bahan pelajaran  dan dapat diadopsi oleh pemerintahan Nagari dampingan program dalam perencanaan Nagari.

Sumber: http://echogreen.id/integrasi-inisiatif-ekonomi-hijau-dalam-rencana-kerja-pemerintah-nagari-di-kabupaten-padang-pariaman/

 

Peningkatan Kapasitas Teknik Lobi Bagi Kelompok Perempuan dan Generasi Muda Tani Untuk Mengembangkan dan Perluasan Akses Pemasaran Komoditas yang Lebih Luas

Grobogan – ECHO Green melakukan kegiatan peningkatan kapasitas Teknik lobi bagi kelompok perempuan dan generasi muda tani untuk pengembangan dan perluasan akses pemasaran komoditas yang lebih luas. (14/12/2022)

Kegiatan yang berlangsung selama dua hari tanggal 13-14 desember 2022 diikuti oleh 26 orang dari perwakilan perempuan dan generasi muda tani, turut hadir dalam fasilitasi ini Kepala Dinas Kabupaten Grobogan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Wakil Ketua KADIN, Koperasi Jagad Kasih serta Koperasi Pemasaran Karya Putra Bangsa.

ECHO Green mengungkapkan dalam rangka menguatkan kapasitas apara Anggota kelompok perempuan dan generasi muda tani dalam bidang pemasaran serta memfasilitasi mereka menemukan akses pasar lebih luas, terutama bagi komoditas yang prioritas , mulai dari produk pertanian dalam bentuk bahan baku hingga produk olahan ini dilakukan untuk menciptakan Green Economi.

Kadis Pertanian Kabupaten Grobogan Bapak Sunanto menjelaskan system pasar harus ada aturan-aturan yang harus dilakukan,bagaimana cara membeli dan bagaimana cara menjual, dalam arti petani untung, pedagang juga untung(jadi harus seimbang). Sector pertanian bukan sector pinggiran, sector pertanian bukan berarti kalah dari sector lainnya. Contohnya ketika semua mengalami inflasi,tetapi sector pertanian malah mengalami kenaikan.

“pasar adalah suatu hal yang kita ciptakan dan pasar itu bis akita taklukkan, kita harus optimis,” Jelasnya.

Bapak Darsono dari Dinas Perinsudtrian dan Perdagangan mengatakan latar belakang laber perdagangan telah di atur dalam undang-undang 36 tahun 2009, PP nomor 69/1999 tentang label dan iklan pangan. Label pangan adalah keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya yang disertakan pada pangan, dimasukkan kedalam, ditempelkan pada, dicetak pada atau merupakan bagian kemasan pangan.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Bapak Irwan Sudaryanto mengatakan bahwa pertanian telah mendukung perekonomian bangsa dengan menjadi penyumbang terbesar ketiga bagi PDB. Usaha pertanian modern kini tidak memerlukan lahan yang luas.

Turut memberikan materi dari Koperasi Pemasaran Jagad Kasih Kamulyan yang di wakili oleh bapak Sauki dan Bapak Felix memberikan gambaran teoritis penjualan sebuah produk.

Anggi Hanurita selaku Ketua Koperasi Pemasaran Karya Putra Bangsa juga hadir. Dalam materinya ia memaparkan koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat, sehat, mandiri, modern dan berdaya saing berdasarkan prinsip koperasi dan mendukung usaha mikro, kecil dan menengah serta kewirausahaan, sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional.

“Koperasi adalah kumpulan orang-orang yang mencerdaskan. Koperasi dan usaha kecil dan menengah perlu mengembangkan koperasi modern melalui pelaksanaan model multi pihak yang melibatkan kepentingan para pihak,”Ungkapnya.

Di akhir kegiatan pasa peserta saling berbagi praktik baik salah satunya bapak Mulyadi dari Desa Pulutan yang sudah mencoba bermacam-macam usaha, contohnya menanam bawang merah, ternak ayam petelur, ternak ayam pedaging, ternak bebek. Dan sekarang sudah menandatangani MOU dengan Koperasi Karya Putra Bangsa untuk pembibitan kelengkeng dan durian di lahan bapak Mulyadi yang nanti kedepannya juga akan dibuat Agro Wisata Edukasi.

Sumber: http://echogreen.id/peningkatan-kapasitas-teknik-lobi-bagi-kelompok-perempuan-dan-generasi-muda-tani-untuk-pengembangan-dan-perluasan-akses-pemasaran-komoditas-yang-lebih-luas/

Memfasilitasi Studi Banding Perempuan dan Kelompok Tani Muda ke Inisiatif Hijau Lainnya Untuk Sektor Lain di Lombok Timur

Lombok Timur- ECHO Green Lombok Timur lakukan kegiatan studi banding antar kelompok perempuan dan generasi muda tani ke inisiatif hijau lainnya dan untuk sektor lain seperti, perikanan, pariwisata dan industri kreatif lainnya, pada Selasa (20/12/2022).

Kelompok perempuan dan generasi muda tani dampingan ECHO Green menyambangi Kelompok Jarpuk Rindang sebagai kelompok perempuan pengelola bisnis lokal.

SDC Subdistrik Koordinator Echo Green Ida Laely menyebutkan, Kegiatan studi banding ini untuk memfasilitasi kelompok-kelompok dampingan dalam mengembangkan dan memiliki ide-ide baru dalam mengembangkan program ekonomi hijau (ECHO Green).

“Kegiatan studi banding ini dalam rangka memfasilitasi kelompok perempuan dan generasi muda tani dampingan untuk belajar tentang pengelolaan konsep ekonomi hijau dan menumbuh kembangakn organisasi yang telah dibentuk,” sebut Ida Laely.

Peserta studi banding merupakan perwakilan dari kelompok yang telah dibentuk  di desa-desa dampingan sebanyak 15 orang dari Kec. Sambelia 5 orang, Kec. Suela 5 orang dan 5 orang dari Kec. Sembalun.

Program ECHO Green sudah dilaksanakan sejak tahun 2020 di Kabupaten Lombok Timur untuk 3 kec. sembalun, Kec. Sambelia dan Kec. Suela yang bertujuan untuk mempromosikan inisiatif ekonomi hijau oleh petani perempuan dan generasi muda di sektor pertanian, dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian, ketahanan pangan, kesempatan kerja yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif guna mendukung pencapaian SDG 2, SDG 5, dan SDG 8.

“Kegiatan studi banding ini dalam rangka memperkenalkan inisiatif ekonomi hijau lainnya kepada kelompok generasi muda dan perempuan tani yang sudah dibentuk oleh ECHO Green ” ungkap Subhan.

Menurutnya, bahwa ekonomi hijau adalah, aktivitas ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam khususnya dibidang pertanian.

“Berdasarkan konsep diatas maka dalam kegiatan studi banding peserta diharapkan lebih banyak mengenal inisiatif-inisiatif terkait pengembangan ekonomi hijau di sektor lain,”sebut dia.

Abdul Muis selaku salah satu SDC Subdistrik Koordinator ECHO Green menambahkan bahwa kegiatan yang sudah dilakukan dalam bentuk sekolah lapang dengan materi dan berbagai pelatihan peningkatan kapasitas kelompok yang telah dibentuk perlu untuk melakukan pengembangan dan berinovasi untuk ekonomi hijau.

“Mempelajari proses-proses pertumbuhan kelompok yang mendorong inisiatif ekonomi hijau lainnya menjadi terobosan untuk mendapatkan inovasi baru dalam pengembangan ekonomi hijau”, tambahnya.

Selain berbagai pengalaman dalam pengembangan juga untuk memperkenalkan proses-proses ekonomi hijau, pemasaran dan pertumbuhan organisasi yang telah dibentuk.

Sumber: http://echogreen.id/memfasilitasi-studi-banding-perempuan-dan-kelompok-tani-muda-ke-inisiatif-hijau-lainnya-untuk-sektor-lain-di-lombok-timur/

Anatomi Krisis Pangan Baru

Penguatan stok pangan domestik bukan opsi, tetapi harus dilaksanakan. Dampak sosial-ekonomi krisis pangan baru wajib dihindari karena biaya sosial politiknya sangat besar.

Peringatan beberapa lembaga internasional tentang krisis pangan baru karena pandemi Covid-19 bukan fiksi, kita perlu mewaspadai.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Program Pangan Dunia (WFP), Lembaga Riset Pangan Internasional (IFPRI), dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengingatkan terjadinya krisis pangan ini.

Krisis pangan ini tidak ditandai oleh lonjakan harga pangan secara signifikan karena dipicu anjloknya kinerja perekonomian. Resesi ekonomi global akibat pandemi Covid-19 akan menyebabkan 500 juta orang di dunia jatuh miskin. Mereka tidak memiliki penghasilan memadai untuk membeli pangan pokok dan keperluan lain.

Tanda-tanda krisis pangan semakin terlihat sejak penerapan lockdown di beberapa negara. Di Indonesia dan negara berkembang lain, banyak penduduk tiba-tiba tidak dapat bekerja, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan harus tergantung pada bantuan pangan. Mereka amat rentan karena akses pangan terganggu.

Anatomi krisis

Berikut ini adalah anatomi krisis pangan, meliputi pemicu (drivers), proses transmisi, dan dampak sosial-ekonomi pada tiga kasus: yaitu krisis ekonomi Asia 1998, krisis pangan global 2008, dan krisis pangan baru akibat pandemi Covid-19.

Resesi ekonomi global akibat pandemi Covid-19 akan menyebabkan 500 juta orang di dunia jatuh miskin.

Krisis ekonomi Asia 1998 adalah pemicu krisis pangan di beberapa negara Asia, khususnya yang bermasalah nilai tukar dan neraca pembayaran. Krisis pangan terjadi karena daya beli melemah, inflasi tinggi, dan akses pangan terganggu. Di Indonesia, nilai tukar rupiah memburuk dari Rp 2.450 per dollar AS menjadi Rp 16.650 per dollar AS. PHK dan pengangguran meluas, kemiskinan naik sampai 50 juta orang atau 24,2 persen dari total penduduk.

Laju inflasi melonjak dari 10,31 persen menjadi 82,4 persen, cadangan devisa menipis sampai 17,4 miliar dollar AS, utang luar negeri membengkak sampai 126,6 persen produk domestik bruto, dan pertumbuhan ekonomi anjlok dari 4,7 persen ke minus 13,7 persen.

Krisis diperparah kekeringan ekstrem El-Nino sehingga petani gagal panen dan harga pangan melonjak tinggi. Indonesia mencatat rekor baru impor beras 6 juta ton karena produksi domestik anjlok.

Setelah Presiden Soeharto berhenti, Presiden BJ Habibie, penggantinya, berusaha memulihkan krisis ekonomi. Pemerintah memberikan jaring pengaman sosial (JPS), mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), melaksanakan program rekapitalisasi hingga Rp 430 triliun, mengendalikan Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI), dan lain-lain.

Krisis pangan global 2008 dipicu kenaikan harga minyak global hingga 120 dollar AS per barel, baik karena kenaikan biaya transportasi dan logistik perdagangan maupun karena keterhubungan pasar pangan dengan pasar minyak bumi dalam bursa berjangka.

Krisis perbankan dan keuangan di AS juga terjadi, khususnya kredit perumahan, bubble pasar modal dan keuangan, hingga bangkrutnya perusahaan raksasa Lehman Brothers.

Harga pangan biji-bijian melonjak tajam, gandum naik 130 persen, kedelai naik 87 persen, beras 74 persen, dan jagung 30 persen. Harga produk turunannya juga naik tajam. Kerusuhan melanda Amerika Latin dan Afrika, seperti Haiti, Mesir, Pantai Gading, Senegal, dan Kamerun.

Asia juga dilanda protes harga pangan, seperti di India, Bangladesh, dan Filipina. Dampak krisis pangan di Indonesia tidak terlalu dahsyat karena musim sangat bersahabat. Produksi pangan cukup baik, cadangan beras di Bulog terjaga di atas 1,5 juta ton, dan harga eceran beras naik tidak lebih dari 10 persen.

Pada 2008 itu, laju inflasi Indonesia naik sampai 12,2 persen, nilai tukar rupiah Rp 12.650 per dollar AS, cadangan 50,2 miliar dollar AS, dan pertumbuhan ekonomi 6,1 persen.

Krisis dampak pandemi

Krisis pangan baru yang dipicu Covid-19 berbeda dengan dua krisis sebelumnya. Sekarang kondisi ekonomi pangan global relatif baik. Stok pangan cukup, panen lumayan, harga minyak bumi rendah, dan permintaan pangan rendah. Harga minyak di bawah 20 dollar AS per barel untuk WTI crude oil dan di bawah 30 dollar AS per barel untuk brent crude oil, suatu rekor harga terendah.

Negara eksportir minyak bumi (OPEC) bersepakat mengurangi produksi minyak demi menjaga harga keekonomiannya. Secara teori, hal di atas belum akan meningkatkan harga pangan dalam jangka pendek. Akan tetapi, ketika sistem transportasi dan logistik pangan terganggu karena lockdown, aliran komoditas pangan juga terganggu. Kelompok miskin tidak mampu bekerja atau hilang pekerjaan sehingga akses pangan turun drastis.

Krisis pangan baru yang dipicu Covid-19 berbeda dengan dua krisis sebelumnya.

Pandemi Covid-19 mengurangi curahan tenaga kerja, aset paling berharga dari kelompok miskin, sehingga penghasilan menurun signifikan.

Rencana kontingensi

Berikut usulan rencana kontingensi penanggulangan krisis pangan, termasuk jika hal terburuk—kenaikan harga tinggi dan angka kemiskinan tinggi—terjadi bersamaan.

Pertama, jika harga pangan naik kurang dari 10 persen dan kemiskinan naik kurang dari 5 persen, petani harus diberi jaminan pergi ke sawah dan pembelian harga produk yang layak untuk menjamin aliran produksi pangan dari hulu.

Dana desa dapat dimanfaatkan untuk padat karya guna menjaga ekonomi desa terus bergulir. Pelaksanaan program ketersediaan pasokan dan stabilitas harga harus masif. Operasi pasar Bulog lebih intensif di seluruh pelosok.

Kedua, jika harga pangan naik 10-20 persen dan kemiskinan naik 5-10 persen, petani harus diberi jaminan dan insentif harga memadai. Petani perlu akses marketplace untuk menjaga cash flow petani karena banyak yang net consumer beras.

Pemerintah memberi subsidi ongkos angkut armada pangan untuk menjamin sistem distribusi dan logistik serta tidak berlebihan dalam pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pergerakan pangan.

Ketiga, jika harga pangan di atas 30 persen dan kemiskinan naik di atas 10 persen, bantuan sosial harus dinaikkan setidaknya dua kali lipat dari anggaran sekarang Rp 110 triliun. Pengalaman melaksanakan program JPS, subsidi bunga kredit program, dan penyelamatan produksi pangan pada krisis ekonomi 1998 dapat dijadikan referensi berharga.

Penguatan stok pangan domestik bukan opsi, tetapi harus dilaksanakan. Dampak sosial-ekonomi krisis pangan baru wajib dihindari karena biaya sosial politiknya sangat besar.

Oleh Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. (Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Ekonom Senior Indef, dan Ketua Forum Masyarakat Statistik (FMS))

Sumber: http://echogreen.id/anatomi-krisis-pangan-baru/

Momentum Kemandirian Pangan

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan ketidakpastian baru yang berdampak ke pangan. Hal ini diikuti dengan wacana “de-globalisasi” yang makin mengemuka akibat negara-negara di dunia diduga akan menahan stok pangannya. Kalau ini terjadi, tak ada jalan lain kecuali tekad kemandirian pangan. Pertanyaannya adalah apakah pasokan pangan kita mencukupi? Bagaimana terobosan jangka pendek dan jangka menengah untuk mewujudkan kemandirian?

Isu Produksi dan Distribusi Pangan

Badan Ketahanan Pangan Kementan RI (2020) merilis bahwa suplai pangan hingga Agustus 2020 relatif aman, bahkan beras diperkirakan bisa surplus 7.4 juta ton. Begitu pula jagung, bawang merah, cabai, daging ayam dan telur. Namun, baru-baru ini Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa ternyata masih banyak provinsi yang defisit pangan (Kompas.com, 28 April 2020). Jadi, ternyata persoalannya bukan semata pada surplus produksi, melainkan pada belum meratanya distribusi.

Isu distribusi ini terdampak dari kebijakan pencegahan Covid-19 yang membatasi mobilitas, jam operasional pasar, jam kerja restoran, dan tutupnya kantor. Kendala distribusi pangan kini bisa berdampak pada kelebihan suplai di tingkat petani sehingga menyebabkan harga jatuh. Penurunan harga ini akan berdampak pada penurunan penghasilan mereka. BPS telah mengumumkan bahwa Nilai Tukar Petani turun dari 104,16 pada Januari 2020 menjadi 102,09 pada Maret 2020 (Kompas, 15 April 2020), artinya ada penurunan daya beli petani.

Penurunan penghasilan ini selanjutnya bisa berdampak pada terbatasnya modal usaha untuk musim tanam berikutnya bulan Agustus. Jadi, saat ini yang terjadi adalah ketidakpastian distribusi, sementara ketidakpastian produksi justru akan terjadi pada masa musim tanam berikutnya setelah Agustus.

Jangka Pendek: Perlindungan Petani

Ada empat terobosan jangka pendek untuk memecahkan masalah rantai pasok di atas. Pertama, menghadapi ketidakpastian distribusi diperlukan kebijakan logistik dan rantai pasok pangan dengan melibatkan sejumlah BUMN pangan, koperasi, dan swasta nasional. Hal ini penting agar distribusi pangan kembali normal dan petani kembali menikmati harga wajar. Konsumen pun menikmati produk pangan dengan harga terjangkau. Sistem logistik baru ini perlu inovasi berbasis teknologi 4.0, khususnya blockchain, untuk menjamin akurasi data dan koneksi hulu hilir secara efisien.

Kedua, memperluas akses petani, peternak dan nelayan pada jaringan pemasaran daring untuk memperpendek rantai pasok pangan dengan melibatkan koperasi dan Bumdes. IPB dan Astra bekerjasama memberdayakan 53 desa di Jawa Barat dan berhasil membuka akses petani pada pemasaran daring melalui sejumlah marketplace. Pemasaran daring merupakan solusi namun saat ini belum mampu menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang terbiasa dengan pasar tradisional.

Ketiga, diperlukan stimulus ekonomi khusus untuk pertanian dan pedesaan sebagai kebijakan afirmatif perlindungan petani dan desa sebagai basis produksi pangan. Stimulus ini penting untuk memastikan pertanian tetap tumbuh dan mensejahterakan. Pertanian tetap menjadi tumpuan ekonomi desa karena desa berbasis pertanian di Indonesia masih 73,14%, dan desa pesisir 15,11%.

Salah satu stimulus adalah kebijakan relaksasi KUR secara holistik agar petani tetap tenang menghadapi musim tanam mendatang yang memerlukan suntikan modal lagi. Adanya alokasi dana sekitar Rp 70.1 Triliun untuk insentif perpajakan dan KUR dalam Perppu perlu dipastikan bahwa petani dan nelayan menjadi target kebijakan tersebut.

Keempat, skema perlindungan dan jaring pengaman sosial bagi kesejahteraan petani dan nelayan di masa pandemi Covid-19 sangat diperlukan. Jaminan kehidupan petani dan nelayan diperlukan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus menekan laju kemiskinan di pedesaan yang saat ini kontribusinya masih 60%.

Jangka Menengah: Kemandirian Pangan

Empat terobosan di atas juga merupakan upaya menjaga suasana psikologis petani, peternak, dan nelayan bahwa pekerjaan mereka dihargai dan dilindungi. Semangat bekerja mereka harus kita apresiasi, apalagi di saat krisis pangan global ini mengancam.

Sembari menyelesaikan problem jangka pendek soal distribusi saat ini dan antisipasi produksi pangan pasca Agustus 2020 nanti, maka ancaman krisis pangan global tersebut harus menjadi momentum untuk kemandirian pangan. Ada lima agenda untuk kemandirian pangan ini.

Pertama, gerakan masyarakat untuk produksi skala rumah tangga bisa menjadi katup pengaman di kala krisis seperti pandemi Covid-19 ini. Dulu di kampung, banyak rumah tangga yang memiliki ayam, kolam ikan, atau tanaman hortikultura sebagai cadangan pangan. Karena itu pertanian pekarangan perkotaan harus digalakkan lagi. Gerakan sosial ini murah dan rendah karbon namun berdampak pada akses pangan.

Selain itu gerakan pangan lokal masa lalu untuk jaring pengaman sosial perlu direvitalisasi. Di Jawa ada istilah “beras jimpitan” yaitu setiap rumah tangga berbagi beras sebanyak satu gelas yang diletakkan di teras rumah dan lalu diambil oleh petugas ronda dan dikumpulkan di balai desa atau mushola untuk didistribusikan kepada yang kurang mampu.

Kedua, pada aspek teknologi, perlu terobosan produk subtitusi impor. Teknologi mie berbahan baku wortel, bayam, dan jagung kini mulai berkembang. Beras analog produk IPB berbahan baku sagu dan singkong juga makin populer. Yang diperlukan adalah perluasan skala produksi sekaligus edukasi konsumen untuk merespon diversifikasi pangan ini. Begitu pula aneka tanaman obat harus dikembangkan untuk mendukung kemandirian industri obat-obatan herbal sekaligus mengurangi ketergantungan pada produk farmasi impor.

Ketiga, perlu penyempurnaan sistem data dan infomasi pertanian dan perikanan secara spasial, agar produksi pangan di desa dan kebutuhan di kota dapat diketahui secara akurat, dan distribusi pangan antar wilayah lebih mudah dijalankan. Ini harus diiringi akselerasi pola pertanian presisi berbasis teknologi 4.0, karena pertanian presisi yang terkoneksi secara spasial bisa menjadi basis data yang akurat. Dengan data akurat maka kebijakan pun akan lebih akurat.

Keempat, reforma agraria menjadi prasyarat bagi kemandirian pangan. Tentu tidak saja berupa distribusi lahan (land reform) yang meningkatkan rasio lahan per petani, tetapi juga perluasan akses (access reform) pada teknologi, modal, dan pasar bagi petani sehingga bisa lebih mensejahterakan.

Kelima, regenerasi petani perlu dipercepat dengan memperluas kesempatan menjadi petani milineal. Rata-rata usia petani Indonesia sekitar 47 tahun, dan 10 tahun lagi bisa terjadi krisis petani kalau tidak diantisipasi dari sekarang.

Tentu kemandiran pangan mensyaratkan pergeseran dominasi dari “rezim perdagangan” ke “rezim produksi” sehingga iklim ekonomi-politik ini kondusif bagi kita untuk terus berproduksi tanpa ada kekhawatiran akan membanjirnya produk impor. Apalagi dengan isu “de-globalisasi”, maka penguatan “rezim produksi” pangan adalah satu-satunya pilihan. Ingat, pangan adalah hidup matinya suatu bangsa, kata Soekarno 58 tahun lalu.

Oleh Prof. Dr. Arif Satria, SP, MSi (Rektor Institut Pertanian Bogor)

Sumber: http://echogreen.id/momentum-kemandirian-pangan/